Selasa, 27 Juli 2010

RSBI, akankah menjadi cikal bakal dualisme pendidikan?

Fenomena baru yang semakin berkembang, bahwa semakin banyak daerah yang ingin punya RSBI (Rintisan Sekolah Berstandard Internasional).Kita tentu merasa bangga jika hal itu menjadi pendongkrak mutu pendidikan yang semakin terpuruk akhir-akhir ini.Bukan tanpa alasan jika saya mengatakan semakin terpuruk karena;
1.Banyaknya kasus soal UN yang bocor , saya rasa bukan isapan jempol.Hanya saja tentu tak ada yang bisa di jadikan barang bukti, meski tak bisa di pungkiri sebagai seorang guru banyak yang mendiamkan.
2.Fasilitas pendidikan bukannya terbenahi seperti yang di amanatkan MA untuk syarat pelaksanaan UN.Malah di Kota besar masih ada sekolah negeri yang tidak punya ruang lab.bio dan fisika (cuma ruangan dengan barang rongsokan), Lab Bahasa, Alat Peraga Matematika dan komputer untuk di pakai belajar oleh siswa.
3.UN sudah di mulai akhir april, sementara Ijazah baru bisa di terima Agustus.Kita sepertinya masih gamang dengan teknologi dan masih punya pola pikir masa lalu.
4.Fenomena banyaknya siswa swasta yang masuk negeri, saya yakin sebagian bukan karena mereka lebih baik dari sekolah negeri.Ini saya yakini karena ada swasta yang lulus 100% dengan nilai tinggi sampai 75% bisa masuk negeri, padahal siswanya saja ada yang mesti di jemput untuk ikut UN.
5.Belum ada prestasi yang di tunjukkan oleh guru yang sudah profesional (punya sertifikat profesi) melebihi guru yang belum di sertifikasi, baik cara mengajarnya, kehadirannya maupun penerapan methode dan teknologi mengajarnya.
Sekarang mari kita lihat RSBI.Kita tentu sudah melihat berita di TV bahwa di Jakarta ada SD yang sudah berstatus  RSBI bermasalah dengan orangtua mengenai pengelolaan uang yang di pungut oleh sekolah.Wajar saja orangtua ikut campur (melalui wakilnya yaitu komite sekolah) karena uang sekolah yang di pungut RSBI biasanya termasuk tinggi dan rasanya bisa di katakan sangat tinggi.Ada RSBI (SMA) yang mengutip uang sekolah sampai Rp.1.000.000 /bulan.Tentu yang bisa masuk ke sini hanyalah orang mampu/kaya.Artinya bahwa orang pintar sekalipun tapi karena hidup sederhana tak punya hak mengenyam pendidikan di sini.Kalau teringat waktu duduk di bangku SPG dulu, katanya bahwa berdirinya Taman Siswa, Muhammadiyah dll adalah guna memupus dualisme pendidikan yg di sponsori oleh Belanda, dimana waktu itu sekolah seseorang sangat di tentukan oleh kasta.Ada khusus sekolah untuk kalangan ningrat, dan rendahan/rakyat jelata.Jika RSBI didirikan untuk kalangan berduit, lantas bagaimana nasib orang di bawahnya.Mengapa bukan pembenahan yang sudah ada yang di giatkan.Lengkapi fasilitas pendidikan, bina terus profesionalisme dan kepatuhan guru dalam mengajar, jangan mensyaratkan Sertifikat, Piagam, atau apa pun namanya dalam kriteria Penilaian profesi guru.Guru tugasnya melaksanakan KBM, maka nilai lah KBM nya bukan melalaknya untuk cari sertifikat.Bukan dengan cara membuat kelas khusus, dimana pendanaan yang paling dominan.
Apa iya, yang punya predikat RSBI itu, gurunya udah pada bisa bahasa Inggris?.Udah pintar gunakan teknologi?.Apa iya persyaratan yang masuk ke situ pakai cara penyaringan yang jujur.
Tulisan ini saya buat untuk mengingatkan kita semua, bahwa negara beserta fasilitasnya ini bukan milik pribadi maupun golongan.Jangan malah mundur kembali ke zaman penjajahan Belanda.Adilah kepada sesama, merasa senasib dan sepenangungan, tegakah kita, mereka masih banyak yang tidak mampu sekolah sementara ada yang punya fasilitas melimpah.Memang sih katanya ada dana BOS, tidak boleh ada yang tak sekolah.Tapi kan malah yang ada nggak di kasi ujian kalau nggak bayar uang buku, tak di kasi masuk belajar kalau tak beli LKS.RSBI hendaknya inisiatif dan sepenuhnya di tanggung pemerintah agar anak kurang mampu juga bisa bersaing untuk menikmati layanan itu.Semoga.

Tidak ada komentar: