Kamis, 10 Oktober 2013

Apakah kita rela hancur demi HAM?

HAM atau hak azasi manusia yang paling hakiki adalah hak hidup, artinya hak yang primer di susun hak -kak lainnya yang bersifat sekunder.
Dalam dunia pendidikan HAM sudah merambah terlalu jauh mengingkari esensi pendidikan dengan ajaran psikologi pendidikan dan paedagogiknya.
Se ingat saya sewaktu di SPG dan di perkuliahan BK dahulu bahwa kita mengenal istilah hadiah dan hukuman.Yang berbuat positif di beri hadiah dan yang menyalah di beri hukuman.
Tapi apa yang terjadi sekarang ini, terutamanya sekolah Negeri tak lagi membikin anggaran untuk pemberian hadiah kepada siswa yang berprestasi.Bahkan sangat miris, sewaktu saya menerima keluhan anak saya mendapatkan beasiswa prestasi.Anak ke 2 saya menandatangani penerimaan beasiswa prestasi Rp.900.000, tapi yang di terima Rp.400.000. Anak ke empat saya menanda tangani penerimaan beasiswa prestasi Rp.900.000, tapi yang diterima hanya Rp.500.000.Ini terjadi di salah satu SMP di Deli Serdang dengan Kepala Sekolah yang sama dengan alasan biaya ke Kepala Dinas, biaya pengurusan dll.
Yang terasa memilikukan dengan kejadian yang sama, saya membagikan beasiswa prestasi kepada siswa kami di SMP Negeri 4 Medan tanpa saya potong satu sen pun, tetapi kok anak saya mengalami hal buruk itu.
Sekarang malah di galakkan membela yang bermalah, menurut catatan saya, pernah terjadi;
-siswi SMP yang hamil tak boleh di halangi ikut UN, alasan masa depan, HAM
-siswa terlibat narkoba boleh ikut UN, alasan sda.
-siswa terlibat terlibat menabrak orang dengan mobil, boleh ikut UN, alasan sda
-siswa terlibat menyiram air keras di bus umum, boleh ikut UN, alasan sda.
-siswa sudah menikah (terpaksa) boleh ikut UN, alasan sda
-anak tidak boleh di hukum menyamai orang dewasa dan harus di lindungi, seperti AQJ oleh KPAI
Oleh karena itu tak dapat di pungkiri sebagian guru menjadi apatis, karena merasa tidak lebih berkuasa pada siswanya di bandingkan orang di luar sana, semua dengan alasan HAM.
Bahkan sebagian guru takut jika harus berhadapan dengan pihak berwajib, gara-gara salah menangani siswa, lalu dalam hatinya;
"Bukan anakku, bukan famili ku, bukan siapa-siapa ku, udah ku bilangi bagus-bagus, tak juga berobah, terserah dia mau jadi monyet, jadi setan, terserah"

Senin, 07 Oktober 2013

Dimana posisi kita?

Sepertinya BK masih harus mengalami pasang surut dalam tugasnya.Pasang surut itu karena ketidakjelasan keberadaannya di dalam kurikulum.Mari kita lihat lampiran berikut ini:


LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81A TAHUN 2013 TENTANG IMPLEMENTASI KURIKULUM
PEDOMAN UMUM PEMBELAJARAN
VIII. KONSEP DAN STRATEGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING




2.Penyelenggaraan Layanan
Sebagai  pelaksana  pelayanan  bimbingan  dan  konseling,  Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor
Bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan layanan yang mengarah pada:
 (1)pelayanan  dasar,
 (2)  pelayanan pengembangan, 
(3)  pelayanan peminatan  studi,
(4)  pelayanan  teraputik,  dan
 (5)  pelayanan diperluas.


3.Waktu dan Posisi Pelaksanaan Layanan
a.Semua  kegiatan  mingguan  (kegitan layanan dan/atau pendukung bimbingan dan konseling) iselenggarakan di dalam kelas (sewaktu jam pembelajaran berlangsung) dan/atau di luar kelas (di luar jam pembelajaran)
1)Di dalam jam pembelajaran:
a)Kegiatan  tatap  muka  dilaksanakan  secara klasikal dengan  rombongan belajar  siswa  dalam  tiap  kelas untuk menyelenggarakan layanan informasi,penempatan  dan  penyaluran,  penguasaan  konten,
kegiatan  instrumentasi,  serta  layanan/kegiatan  lain yang dapat dilakukan di dalam kelas.
b)Volume  kegiatan  tatap muka  klasikal  adalah 2  (dua) jam  per  kelas  (rombongan  belajar  per  minggu  dan dilaksanakan secara terjadwal.
c)Kegiatan  tatap  muka  nonklasikal  diselenggarakan dalam bentuk layanan  konsultasi,  kegiatan konferensi kasus,  himpunan  data,  kunjungan  rumah,  tampilan kepustakaan, dan alih tangan kasus.



a.Pada  satuan  SMP/MTs/SMPLB,  SMA/MA/SMALB/  SMK/MAK diangkat sejumlah  Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dengan rasio 1  : 150  (satu Guru  bimbingan  dan konseling atau Konselor melayani 150 orang siswa) pada setiap tahun ajaran.

 
Masalahnya, Kepsek dan disdik kadang kurang memahamiini.