Minggu, 18 Oktober 2009

Mari Luruskan

Akhir-akhir ini timbul semacam kebiasaan di kalangan ummat islam,dimana budaya memberi bagi orang yang mengadakan hajatan sudah merupakan tradisi dan seolah-olah lumarah bukab saja menurut kalangan umum, tapi seolah hal itu merupakan ajaran islam.
Lihat saja betapa orang yang mengadakan pesta,apakah berupa pesta pernikahan, pesta sunatan, pesta penabalan nama anak, pesta kenaikan pangkat dan jabatan, semuanya harus dilakukan dengan meriah, namun tetap ada hitung-hitungannya.
Sebuah keluarga tidak lagi mengadakan pesta dengan tulus mengharap do'a restu dari yang ia undang.Ia berupaya membuat pesta dengan biaya tinggi meskipun dengan menghutang lebih dulu dengan harapan nanti ia akan untung dengan sumbangan dari tamu yang datang.
Kadang kita berfikir, untuk mengadakan surat undangan memakan biaya hingga rp.15.000/ lembar undangan atau bahkan lebih, maka sitamu mulai merencanakan paling tidak ia akan menyumbang untuk biaya cetak undangan yang ia terima, dan biaya makan yang ia makan dipesta.Sebagian kan berfikir, apalagi bukan kebata dekat, maka ia  akan lebih baik makan dirumah makan, atau bagi yang pas-pasan akan membelikannya untuk beras.
Lantas dimana makna undangan yang meminta do'a restu, kalau toh ia harus bayar?
Yang lebih parah lagi semua yang dipestakan selalu disambut dengan marhaban.Bukankah yang berhak menerima gelar "nurul aini" dan "jaddal husaini " itu cuma rasulullah saw?
Mungkin kalau untuk acara penabalan nama, bolehlah karena sibayi masih bersih tanpa dosa tentunya.
Tapi kalau pengantin......???????????, pada saat acara pesta banyak sekali kita jumpai sipenganting tidak sholat Zuhur dan Ashar, patutkah di marhabankan?
Ada yang lebih parah, sekarang orang mau berangkat hajipun sudah mulai menerima sumbangan selain do'a restu, dan mungkin inilah sebab maka banyak haji yang tidak mabrur, mari kita fahami dan mari kita luruskan.

Tidak ada komentar: